Benarkah Wanita Lebih Berisiko Meninggal Akibat Serangan Jantung-Stroke?
Penyakit kardiovaskular, termasuk serangan jantung dan stroke, merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Meski dapat menyerang siapa saja, studi menyebut bahwa wanita memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat penyakit ini. Kenapa?
Baru-baru ini, pakar mengungkapkan bahwa perbedaan biologis dan bias gender dalam diagnosis serta pengobatan menjadi alasan utama di balik tingginya risiko kematian wanita akibat penyakit kardiovaskular.
Selama ini, penelitian tentang penyakit kardiovaskular cenderung fokus pada pria. Padahal risiko tingkat kematian yang lebih tinggi di kalangan wanita tidak hanya disebabkan oleh perbedaan fisik, tetapi juga karena adanya bias gender di antara dokter dalam menangani penyakit kardiovaskular.
"Kami adalah peneliti yang mempelajari kesehatan wanita dan cara penyakit kardiovaskular berkembang dan muncul secara berbeda pada wanita dan pria," kata Amy Huebschmann, profesor kedokteran dari University of Colorado Anschutz Medical Campus, Amerika Serikat, yang dikutip dari Live Science.
Dia mengatakan, penelitiannya penting untuk memperbarui pedoman medis dengan pendekatan diagnosis dan pengobatan yang lebih spesifik pada jenis kelamin tertentu, sehingga bisa meningkatkan hasil kesehatan yang maksimal.
Baca juga: Ilmuwan Ungkap Manfaat Stroberi untuk Kesehatan Jantung dan OtakBaca juga: Ternyata Ini Rahasia Orang Jepang Panjang Umur, Benarkah karena Matcha?Perbedaan Fisiologis pada WanitaMenurut Huebschmann, perbedaan kromosom pria dan wanita ternyata tidak hanya memengaruhi memengaruhi karakteristik biologis dasar, tetapi juga memengaruhi respons tubuh terhadap penyakit kardiovaskular.
Perbedaan paling mendasar ini terletak pada penumpukan plak di dinding arteri yang lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria. Penumpukan plak ini disebabkan oleh sedikitnya kristal kolesterol dan endapan kalsium pada tubuh wanita, yang berdampak pada aliran darah ke jantung.
"Wanita lebih rentan mengalami penyakit kardiovaskular dengan gejala arteri menyempit tanpa tersumbat sepenuhnya, menyebabkan nyeri dada akibat aliran darah yang tidak mencukupi kebutuhan oksigen," ungkap Huebschmann.
Sebagai perbandingan, pria lebih sering mengalami arteri yang "tersumbat" di area terkonsentrasi, yang dapat dibuka dengan stent atau dengan operasi bypass jantung.
Dalam hal ini, pengobatan untuk arteri yang "tersumbat" lebih umum digunakan dalam dunia medis dibandingkan dengan pengobatan untuk arteri yang "menyempit". Hal ini secara tidak langsung meningkatkan risiko kematian wanita karena pengobatan yang cenderung tidak memperhatikan perbedaan fisiologis antara pria dan wanita.
Selain itu, pada tahap awal serangan jantung, kadar penanda kerusakan jantung pada wanita lebih rendah dibanding pria, yang menyebabkan wanita lebih sering luput dari diagnosis penyakit arteri koroner dibandingkan pria.
"Wanita juga memiliki massa jantung yang lebih rendah dan arteri yang lebih kecil daripada pria bahkan setelah mempertimbangkan ukuran tubuh," papar Huebschmann.
Bias Gender Dalam Dunia MedisSelain perbedaan fisiologis, risiko kematian pada wanita juga dipengaruhi oleh perbedaan penanganan dalam dunia medis yang cenderung "bias gender".
Huebschmann menerangkan bahwa bias gender biasanya terjadi di antara penyedia layanan kesehatan yang acap kali meremehkan gejala penyakit kardiovaskular pada wanita. Misalnya, pasien wanita dengan gejala yang mendekati penyakit kardiovaskular kadangkala terlambat didiagnosis karena dokter cenderung lebih memahami gejala yang dialami oleh pria.
"Terlalu sering, wanita dengan gejala penyakit kardiovaskular dijauhkan dari tempat praktik dokter karena adanya bias gender seperti wanita tidak terkena penyakit jantung," ujarnya.
Selain itu, sebagian besar wanita di dunia tidak tahu bahwa penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian nomor 1 di kalangan wanita. Persepsi yang salah ini tak jarang menyebabkan banyak dari wanita yang tidak memeriksakan diri ke dokter.
Huebschmann menyarankan agar penyedia layanan kesehatan untuk lebih memperhatikan perbedaan fisiologis pada wanita yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskular. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya ketidakakuratan dalam mendiagnosis maupun penanganan yang cenderung bias gender.
"Mempertimbangkan bagaimana gejala penyakit kardiovaskular bervariasi berdasarkan jenis kelamin dan gender dapat membantu dokter merawat semua pasien dengan lebih baik," tuturnya.
Ke depan, para pemimpin laboratorium penelitian, kolaborator, dan rekan peneliti lainnya akan bermitra dengan Pusat Penelitian Kesehatan Wanita Keluarga Ludeman di Kampus Medis Universitas Colorado Anschutz.
Tujuannya adalah agar bisa melanjutkan pekerjaan penting ini untuk menutup kesenjangan antara pria dan wanita dalam layanan kesehatan.
Baca juga: Perempuan Punya Harapan Hidup Lebih Lama Ketimbang Laki-laki, Ini Sebabnya Penyakit Kardiovaskular Jadi Penyakit Mematikan Nomor 2 di Indonesia