Apa Itu Toxic Masculinity? Ini Ciri-ciri dan Contohnya

Diperbarui:2024-11-02 11:44    Jumlah Klik:124
Stressed and upset millennial Asian man is covering his face, crying about his failures in life while sitting in a living room. problem, trouble, broke, depressionFoto: istockphoto/BongkarnThanyakij/ilustrasi cowo menangisJakarta -

Pernah dengan ucapan semacam "laki-laki tidak boleh menangis" atau "laki-laki tidak boleh gemulai, atau menunjukkan sifat seperti wanita"? Kalimat yang diucapkan semacam itu adalah bagian dari penggambaran toxic masculinity.

Untuk diketahui, bahwa dalam masyarakat patriarki, laki-laki ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan dan otoritas tertinggi. Sistem patriarki ini membagi peran berdasarkan gender, yakni "maskulin" dan "feminin".

Pembagian peran gender ini seolah-olah mengkotak-kotakan bahwa laki-laki harus "maskulin" dan perempuan harus "feminin". Tak jarang, peran ini memberikan beban dan ekspektasi yang merugikan bagi laki-laki maupun perempuan.

Patriarki tidak hanya merugikan perempuan karena memandang mereka lebih rendah, atau yang oleh Simone de Beauvoir disebut sebagai "the second class" (warga negara kelas dua), tetapi juga merugikan laki-laki dengan munculnya fenomena yang dikenal sebagai "toxic masculinity".

Baca juga: Sering Lupa Mimpi Saat Bangun Tidur? Ternyata Ini Penyebabnya Menurut PakarBaca juga: Patriarki: Pengertian, Tujuan, DampaknyaPengertian Toxic Masculinity

Dalam tulisannya yang terbit di JSTOR Vol. 5, No. 3, 2017, Bryant W Sculos dari Florida International University, menjelaskan bahwa istilah toxic masculinity atau maskulinitas beracun umumnya digunakan untuk menggambarkan norma, kepercayaan, dan perilaku terkait maskulinitas yang berbahaya bagi perempuan, laki-laki, anak-anak, dan masyarakat luas.

Menurutnya, penggunaan istilah "toxic" atau beracun mengacu pada dampak berbahaya yang dihasilkan dari maskulinitas berlebih.

Sementara dalam buku "Prison Masculinities" yang ditulis Don Sabo dan kawan-kawan, istilah toxic masculinity dijelaskan sebagai sifat-sifat yang menempel pada laki-laki dan merugikan secara sosial, mendorong perilaku dominan, merendahkan perempuan, bersikap homofobia, dan cenderung melakukan kekerasan.

Irfan Hermawan dan Nur Hidayah dalam tulisan yang terbit di jurnal Dimensia Vol 12, No 2 (2023), mengemukakan bahwa toxic masculinity merupakan konsep psikologis dalam budaya tradisional suatu masyarakat, di mana peran dan sifat laki-laki yang sudah terbentuk secara sosial, dan berdampak negatif pada laki-laki.

Pembagian peran gender yang "kaku" ini seolah-olah melarang laki-laki untuk memiliki perasaaan dan membebankan ekspektasi tertentu.

Ciri-ciri Toxic Masculinity

Dikutip dari situs Infrastructure Health & Safety Association, toxic masculinity dapat dikenali melalui tiga ciri utama, yakni:

1. Ketangguhan yakni pandangan bahwa laki-laki harus kuat secara fisik, agresif dalam perilaku, dan tidak menunjukkan emosi.

2. Anti-feminitas yakni keyakinan bahwa laki-laki harus menolak segala sesuatu yang dianggap feminin, seperti mengekspresikan perasaan atau menerima bantuan.

3. Kekuasaan yakni keyakinan bahwa laki-laki harus mengejar kekuasaan dan status (baik sosial maupun finansial) demi mendapatkan penghargaan dari orang lain.

Contoh Toxic Masculinity

Beberapa contoh dari toxic masculinity, antara lain:

1. Menganggap Hubungan Pertemanan Laki-Laki dan Perempuan Tidak Mungkin Terjadi

Laki-laki yang memiliki toxic masculinity memandang bahwa hubungan platonis tidak mungkin terjadi antara dua gender yang berbeda. Hal ini karena toxic masculinity hanya melihat perempuan dalam konteks hubungan seksual dan romantis.

2. Menahan Emosi Agar Tampak "Maskulin" atau "Jantan"

Laki-laki yang memiliki toxic masculinity cenderung menutupi bahkan menahan perasaan sedih yang dinilai sebagai sifat "kewanitaan" atau feminin. Oleh karena itu, orang dengan toxic masculinity tidak akan mengekspresikan kesedihan dengan menangis atau berbicara mengenai perasaan emosional karena takut dianggap lemah maupun "feminin".

3. Menganggap Laki-Laki Tidak Bisa Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Laki-laki yang memiliki toxic masculinity tidak mau mengakui dirinya sebagai korban pelecehan seksual. Mereka beranggapan bahwa hanya perempuan yang dapat menjadi korban, dan mengakui diri sebagai korban adalah bagian dari menunjukkan kelemahan.

Survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, menunjukkan bahwa 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), melaporkan bahwa korban kekerasan seksual pada 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, yakni sebesar 60 persen.

4. Meyakini Bahwa Laki-Laki Harus Menjadi Tulang Punggung Keluarga

Laki-laki yang memiliki toxic masculinity tak jarang melarang pasangannya untuk bekerja karena merasa bahwa itu adalah tugas seorang laki-laki. Dalam hal ini, toxic masculinity membatasi peran sosial dalam masyarakat berdasarkan gender.

Dalam masyarakat patriarki, laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang berkewajiban untuk menafkahi keluarganya. Beban dan ekspektasi yang diberikan kepada laki-laki sebagai "tulang punggung keluarga" tak jarang membuat mereka merasa tertekan.

Menurut World Health Organization (2019), sekitar 80 persen laki-laki di Amerika Serikat melakukan bunuh diri akibat merasa tidak mampu menjalani peran sosial mereka sebagai laki-laki yang dibebankan oleh masyarakat.

Baca juga: Mengapa Laki-laki Cenderung Bertindak Lebih Ekstrem Dibanding Perempuan? 20DVideo: Bahas Psychological Safety,Pakar Sebut Hindari SelaluMenyalahkan Karyawan20DVideo: Bahas Psychological Safety,Pakar Sebut Hindari SelaluMenyalahkan Karyawan(faz/faz)


Powered by BO55: Situs Judi Slot Online Terpercaya Dan Situs Slot Gacor Gampang Menang @2013-2022 Peta RSS Peta HTML

Copyright Powered by站群系统 © 2013-2024